Keterbukaan

Senin, 05 Febuari 2018 19:56:09

 

Euforia di Istora Senayan telah berlalu. Target satu gelar yang dibidik PBSI di ajang Daihatsu Indonesia Masters 2018, bahkan, bisa dilewati dengan raihan dua gelar.
Kini, tantangan kedua sudah di depan mata yakni ajang Piala Thomas dan Uber 2018. Sebelum melangkah ke putaran final di Bangkok, Thailand, akhir Mei 2018 mendatang, perjuangan meraih tiket harus lebih dulu dilalui di ajang Kejuaraan Bulutangkis Beregu Asia 2018 di Alor Setar, Malaysia.
Dari sisi materi yang ada, tim Piala Thomas Indonesia kali ini memang jauh lebih berpeluang membawa pulang lambang supremasi bulutangkis putra yang terakhir kali direbut Indonesia pada tahun 2002 di Guangzhao, Tiongkok.
Namun, sebelum laga dimulai riak-riak kecil sudah muncul ke permukaan. PBSI dinilai kurang menerapkan azas transparansi dan keterbukaan dalam hal pembentukan tim Piala Thomas. Ada pihak yang merasa masih layak untuk masuk tim namun karena berada di luar sistem akhirnya peluang itu pun tertutup.
Sebut saja pemain itu Tommy Sugiarto. Bukan tanpa alasan jika ia merasa masih layak masuk tim, setidaknya menjadi pemain ketiga atau keempat dalam tim Thomas Indonesia.
Pertanyaannya kemudian, apa yang menjadi parameter PBSI dalam menentukan pemain yang layak masuk tim? Jika menggunakan peringkat, pantas jika Tommy menggugat karena posisi dia ada di urutan ketiga setelah Jonatan Christie dan Anthony Sinisuka Ginting. Dari sisi prestasi, Tommy membuktikan masih bisa naik podium juara di Thailand Masters. Sekecil apapun orang menilai level turnamen tersebut namun ia masih bisa membuktikan mental juaranya tetap terjaga. Bicara peluang pun, setiap lawan pasti akan lebih memperhitungkan Tommy dalam posisi sebagai pemain tunggal ketiga.
Jadi, jangan salahkan jika Tommy merasa dianaktirikan PBSI. Faktanya, meski sudah memutuskan menempuh jalur profesional namun Tommy tetap setia menunaikan kewajibannya membayar pajak atas hadiah turnamen yang diterimanya ke PBSI. Maka pantas pula jika kemudian ia menuntut haknya menjadi bagian dari tim Merah Putih.
Masih hangat dalam ingatan saat jelang Olimpiade Rio de Janeiro 2016, Indonesia hanya memiliki satu kuota untuk pemain tunggal putri. Ada dua kandidat yang pantas mendapatkannya yakni Maria Febe Kusumastuti dan Lindaweni Fanetri.
Apa yang dilakukan PBSI saat itu sungguh bijak. Keduanya diberikan kesempatan yang sama untuk berkompetisi sampai batas waktu yang telah ditentukan hingga pada akhirnya Lindaweni yang terpilih. Meski kalah Maria Febe pun bisa menerima kenyataan itu dengan lapang dada serta tanpa merasa teraniaya seperti yang pernah dialaminya empat tahun sebelumnya.
Lantas, mengapa PBSI tidak menggunakan cara yang sama untuk menentukan pemain ketiga di tim Thomas Indonesia. Dengan begitu tidak ada pihak yang merasa teraniaya serta tidak ada dusta di antara kita.