Pelajaran dari Kunlavut dan Lakshya
Selasa, 15 Maret 2022 12:30:59
Catatan Bulutangkis
Majalahbulutangkis.com- Menyaksikan final tunggal putra ajang bulutangkis Yonex German Open 2022 antara Kunlavut Vitidsarn dari Thailand melawan Lakshya Sen dari India, seperti menjadi hiburan tersendiri bagi para penikmat bulutangkis.
Terlepas dari Kunlavut yang akhirnya unggul dalam laga final tersebut, faktanya kedua pemain telah memperlihatkan permainan yang berkualitas tinggi. Menjadi makin istimewa karena tontonan bulutangkis tingkat dewa itu diperagakan dua pemain yang sama-sama baru menginjak usia 20 tahun. Kunlavut kelahiran 11 Mei 2001, sedangkan Lakshya kelahiran 16 Agustus 2001.
Sukses keduanya lolos ke final tentu bukan faktor kebetulan atau keberuntungan, tapi lewat penampilan mereka yang memukau. Sederet pemain senior yang kaya pengalaman jadi korban keganasan mereka.
Kunlavut sebelumnya berturut-turut mengalahkan Parupalli Kashsyap (India), Jonatan Christie (Indonesia), Kenta Nishimoto (Jepang), serta Lee Zii Jia (Malaysia). Lakshya juga tak kalah memukau dengan berturut-turut mempecundangi Kantaphon Wangcharoen (Thailand), Anthony Sinisuka Ginting (Indonesia), Prannoy HS (India), serta unggulan teratas yang juga pemain nomor 1 dunia Viktor Axelsen (Denmark).
Pertanyaan yang muncul, apakah kedua pemain tersebut secara tiba-tiba saja bisa memiliki kemampuan bermain bulutangkis yang demikian istimewa? Tentu tidak. Kemampuan istimewa Kunlavut dan Lakshya tidak diperoleh secara instan. Keduanya sudah memperlihatkan keistimewaannya sejak tampil di level yunior.
Kunlavut bahkan pernah mencatat sejarah sebagai satu-satunya tunggal putra yang pernah menjadi juara dunia yunior tiga tahun beruntun pada tahun 2017, 2018 dan 2019. Lakshya pun tak kalah istimewa. Ia pernah merebut medali perak di Youth Olympic 2018 di Argentina usai kalah di final melawan Li Shifeng dari Tiongkok.
Proses transisi dari yunior ke senior pun dilalui keduanya dengan mulus. Bakat istimewa mereka terus terasah di tangan pelatih yang berkualitas. Kesempatan mereka berkembang pun ditopang penuh oleh federasi bulutangkis Thailand dan India yang memberikan ruang serta peluang bertanding kepada mereka secara maksimal.
Jam terbang bertanding memang tak bisa ditawar-tawar untuk meningkatkan kemampuan seorang pebulutangkis. Dengan makin banyak bertarung melawan pemain-pemain yang lebih senior tentu akan mempercepat proses pematangan sang pemain.
Simak saja jam terbang Kunlavut di usia 20 tahun ia sudah mencatat rekor 392 kali tanding (tunggal, ganda putra, ganda campuran) yang mengantarnya ke peringkat 20 BWF. Sedangkan Lakshya mencatat rekor 246 kali tanding di nomor tunggal yang membawanya ke peringkat 11 BWF.
Jadi wajar saja kalau Federasi Bulutangkis Thailand dan India kini sudah mulai bisa tersenyum karena investasi yang mereka tanamkan telah memperlihatkan hasil seperti yang diharapkan. Berkat bakat istimewa keduanya, proses pematangan pun bisa ditempuh lebih cepat dibanding pemain-pemain pada umumnya. Kini, Kunlavut dan Lakshya bukan lagi pemain anak bawang. Kehadiran mereka di turnamen level atas BWF kini seolah menebar ancaman bagi siapa saja.
Sekarang mari kita refleksikan proses yang dijalani Kunlavut dan Lakshya dibandingkan dengan pemain-pemain Indonesia yang seusia dengan mereka. Segelintir masyarakat bulutangkis mungkin bertanya mengapa proses regenerasi para pemain Indonesia seperti tersendat.
Padahal, jika menyimak data Indonesia sejatinya memiliki sejumlah pemain yang seumuran dengan Kunlavut dan Lakshya. Nama Ikhsan Leonardo Imanuel Rumbay yang kelahiran 16 Januari 2000, bahkan, pernah merasakan sengitnya persaingan melawan Kunlavut dan Lakshya saat masih yunior. Tercatat enam kali bertarung melawan Kunlavut tak satu pun dimenangkan Ikhsan. Begitu pula menghadapi Lakshya tercatat tiga kali kekalahan dialami Ikhsan. Terakhir ia kalah dari Lakshya di perempat final Youth Olympic 2018 di Argentina.
Namun proses transisi Ikhsan dari yunior ke senior tak berjalan mulus. Peluang serta ruangnya untuk berkembang seolah sulit didapat. Tak heran, di usianya yang setahun lebih tua dari Kunlavut dan Lakshya, ia baru mencatat rekor 167 kali tanding. Peringkatnya masih tertahan di posisi 85 BWF. Dengan peringkat seperti ini tentu sulit buat Ikhsan tampil di turnamen level tinggi.
Nasib Chico Aura Dwi Wardoyo pun tak lebih baik. Pemain yang digadang-gadang jadi tunggal putra keempat timnas Indonesia ini juga mengalami proses transisi yang tidak mulus. Meski pernah sukses menjadi runner-up di Kejuaraan Dunia Yunior 2016 di Spanyol, tapi proses berikutnya yang dilalui Chico juga tersendat. Minimnya jam terbang membuat pemain kelahiran Papua, 15 Juni 1998 ini baru mencatat rekor 171 kali tanding. Peringkatnya juga masih berada di posisi 53 BWF.
Begitu pula sejumlah pemain lain berusia 20 tahunan rekor tandingnya malah lebih parah lagi. Mereka antara lain, Bobby Setiabudi (22 Maret 2001, 307 BWF, 104 kali tanding), Syabda Perkasa Belawa (25 Agustus 2001, 619 BWF, 90 tanding), Karono (28 Februari 2000, 320 BWF, 93 tanding), Christian Adinata (16 Juni 2001, 189 BWF, 103 tanding), serta Yonathan Ramlie (31 Januari 2001, 282 BWF, 112 tanding).
Menyimak materi pemain yang tersedia, pertanyaan berikut muncul seberapa siap mereka menerima tongkat estafet ketika era Anthony Sinisuka Ginting, Jonatan Christie dan Shesar Hiren Rhustavito berakhir? Padahal, belakangan ini kita kerap dihadapkan dengan hasil-hasil yang kurang menggembirakan dari tiga tunggal putra andalan Indonesia tersebut.
Setali tiga uang di sektor tunggal putri. Stok pemain yang tersedia saat ini pun masih belum membuat kita cukup yakin akan masa depan tunggal putri Indonesia hingga beberapa tahun ke depan.
Minimnya jam terbang lagi-lagi bisa menjadi penghambat proses pematangan para pemain. Putri Kusuma Wardani yang digadang-gadang jadi tunggal putri masa depan Indonesia juga masih terbilang minim jam tanding. Pemain kelahiran 20 Juli 2002 baru mencatat 137 kali tanding yang membuat peringkatnya masih berada di posisi 78 BWF.
Lapisan berikutnya lebih berat lagi. Antara lain, Nandini Putri Arumni (22 Februari 2001, 463 BWF, 29 kali tanding), Stephanie Widjaja (19 Februari 2003, 275 BWF, 114 tanding), atau Saifi Rizka Nurhidayah (24 Februari 2002, 591 BWF, 40 tanding).
Coba refleksikan dengan sepak terjang bintang muda Korea Selatan, An Seyoung. Untuk mencapai peringkat 4 BWF, pemain kelahiran 5 Februari 2002 perlu menjalani 220 kali laga. Atau pemain muda Thailand, Phittayaporn Chaiwan yang kelahiran 21 Februari 2001. Untuk menduduki peringkat 21 BWF, ia sudah melakoni 347 kali laga (tunggal, ganda putri dan ganda campuran).
Itu baru dari sektor tunggal putra dan putri, belum lagi dari sektor ganda putri dan ganda campuran dimana persoalan yang sama juga bakal dialami. Satu-satunya sektor yang relatif mulus proses transisinya dari yunior ke senior adalah di nomor ganda putra.
Untuk mengejar ketertinggalan tersebut mau tak mau PBSI memang butuh investasi yang sangat besar. Jangan berharap bisa mengejar ketinggalan kalau seorang pemain atau pasangan hanya bermain kurang dari 10 event BWF dalam setahunnya.
Belum lagi masalah pembinaan pemain untuk kelompok usia anak-anak, pemula, serta remaja, sudah dua tahun terakhir ini juga mati suri. Seperti diketahui pembinaan di sektor tersebut selama ini dilakukan lewat ajang Sirkuit Nasional yang digelar sebanyak 8 seri dan Astec Open yang juga digelar 8 seri setiap tahunnya. Tanpa dua event tersebut maka tergambar betapa bingungnya para pemain belia di seluruh Tanah Air untuk mencari sarana bertanding. Padahal, selama ini ajang Sirnas seperti menjadi pintu masuk bagi pemain untuk bergabung ke Pelatnas.
Maka selama waktu itu pula praktis PBSI tak menanam benih. Siapapun paham situasinya memang masih dalam suasana pandemi Covid-19. Tapi pandemi hendaknya tidak dijadikan alibi untuk tidak menjalankan program pembinaan, karena yang mengalami pandemi bukan hanya Indonesia tapi juga seluruh dunia. Selama rentang dua tahun ini atas nama pandemi seolah hal biasa saja ketika PBSI tidak menggelar kompetisi lokal. Begitu pula atas nama pandemi seolah tak ada rasa salah ketika PBSI membatalkan keberangkatan pemain ke luar negeri.
Jadi, ada baiknya jangan terlalu lama sembunyi di balik pandemi kalau bulutangkis Indonesia tidak ingin makin tertinggal dari negara-negara lain yang terus berlari kencang mengejar prestasi.
(Daryadi, Pemred Majalah Bulutangkis & Majalahbulutangkis.com, Sekum PBSI Kota Depok, Komentator Bulutangkis).
Komentar
-
supriyono Rabu, 11 April 2018 18:55:56
-
Ben Jufri Senin, 04 Desember 2017 14:29:07