Apriyani Rahayu, Mimpi Besar Anak Desa Lawulo

Senin, 04 Desember 2017 14:28:38

 

Lawulo hanyalah nama sebuah desa kecil yang masih termasuk dalam wilayah Kecamatan Anggaberi, Kabupaten Konawe, Provinsi Sulawesi Tenggara. Nyaris tak ada yang terlalu istimewa di desa tersebut. Tapi, di desa itulah Apriyani Rahayu dilahirkan pada 29 April 1998 lalu.

Nama pebulutangkis spesialis ganda putri ini belakangan tengah naik daun. Suksesnya naik podium juara bersama seniornya Greysia Polii di ajang Thailand Open Grand Prix Gold 2017, awal Juni lalu, membuat pencinta bulutangkis tanah air mulai menjadikannya sebagai topik pembicaraan.

Ajang Thailand Open, boleh jadi, hanya turnamen level tiga yang tak banyak diikuti pasangan-pasangan ganda putri papan atas dunia. Namun, minimnya prestasi di sektor ganda putri beberapa tahun belakangan itulah yang seolah membuat gelar tersebut menjadi begitu berarti.

Apri -sapaan akrab Apriyani Rahayu- mengaku tak mengira bakal secepat itu naik podium juara. Apalagi, itu adalah event kedua yang diikutinya bersama Greysia Polii. Sebelumnya mereka sudah disandingkan di ajang Piala Sudirman 2017 di Gold Coast, Australia, akhir Mei lalu. Saat itu mereka kalah menghadapi duet senior Denmark, Camilla Ryter Juhl/Christina Pedersen.

Namun, meski terbilang baru, Apri tak terlihat canggung. Beruntung, Greysia yang 10 tahun lebih tua darinya mampu membimbingnya dengan terus menyemangatinya.

"Terus terang kak Greysia sangat membantu saya. Meski lebih senior tapi dia gak sombong, mau berbagi ilmu. Dia juga selalu mensupport ketika saya tegang atau melakukan kesalahan," tutur Apri kepada Majalah Bulutangkis Indonesia.

Apriyani membuktikan juga gelar di Thailand Open bukan gelar kebetulan semata. Greysia/Apriyani membuktikan dengan sukses berikutnya di level turnamen yang lebih tinggi French Open Superseries (Oktober) serta runner-up Hongkong Superseries (November) lalu.

Gelar di Thailand Open serta French Open Superseries tentu bakal jadi titik tolak bagi Apri untuk menggapai mimpi-mimpi besar yang dipendamnya sejak masih tinggal di desa. Terlahir bukan dari keluarga yang berkecukupan, Apri mengaku memang suka olahraga bulutangkis sejak duduk di bangku kelas dua Sekolah Dasar. Kegemarannya bermula dari menonton tayangan pertandingan bulutangkis di layar televisi.

Berawal bermain dengan raket terbuat dari papan di halaman rumah, sang ayah yang tak tega pun akhirnya membelikan raket murahan untuk Apri. Untuk menyalurkan kesukaannya Apri pun mulai berlatih di sebuah gedung bulutangkis yang tak jauh dari kediamannya.

Ia mulai diajarkan cara bermain bulutangkis yang benar oleh pelatih Sapiuddin yang masih ada hubungan keluarga. Beberapa tahun lalu sang pelatih sempat berguru di Sekolah Atlet Ragunan, Jakarta. Setelah kembali ke kampung halaman, Sapiuddin pun menularkan ilmu yang dimilikinya kepada anak-anak di kampungnya termasuk Apriani.

Bakat dan keseriusan Apri mulai terlihat. Saat duduk di kelas V ia berhasil mencapai final kompetisi O2SN. Kalah di final membuat Apri menangis karena hanya sang juara yang berhak dikirim ke Jakarta.

"Sejak itu saya bertekad untuk berlatih lebih giat lagi supaya tahun depan juara dan bisa dikirim ke Jakarta," kenang Apri.

Apri pun berhasil mewujudkan ambisinya di tahun berikutnya saat ia kelas 6 SD. Sebagai juara ia berhak bertanding ke Jakarta. Namun, sesampai di Ibukota ia baru tersadar bahwa ilmu bulutangkis yang dimilikinya ternyata belum apa-apa dibanding anak-anak di Jawa.

Lulus dari SD persoalan mulai muncul. Ternyata sang pelatih pindah domisili ke Konawe. Apri yang sejak awal kenal bulutangkis lewat tangan Sapiuddin nyaris frustrasi. Demi mengejar mimpi menjadi pemain nasional, Apri memutuskan ikut pindah ke Konawe. Ia pun tinggal di keluarga sang pelatih sambil tetap melanjutkan sekolah.

Sang ayah, Amiruddin, seperti dikutif dari media Kendari menuturkan, tekad putri bungsudari empat bersaudara itu memang sangat kuat untuk menjadi pemain bulutangkis.

Pria ini bercerita, saat itu gajinya habis untuk membiayai kakak Apriyani yang mendaftar menjadi anggota polisi, sampai harus menjual motor yang  biasa ia gunakan untuk mengantarkan Apriyani ke sekolah di SD 1 Lalosabila serta berlatih bulutangkis. Bahkan, ketika hendak mengikuti pertandingan, bukan hanya sekali namun puluhan kali, pria kelahiran 2 Agustus 1958 itu tak ragu untuk meminjam uang dan berhutang demi Apriyani.

“Waktu itu dia sudah sering ikut kejuaraan dan selalu juara. Tapi, karena motor sudah dijual, hanya dua caranya pergi latihan, dia menunggu di depan rumah kalau ada motor lewat dia menumpang. Tapi kalau tidak ada, dia lari sampai GOR SKB, jaraknya sekitar 9 kilometer. Dia tidak mengeluh juga. Kan dia juga tomboy, dan kakaknya ikut taekwondo semua. Jadi dia biasa latihan keras seperti laki-laki,” ungkap pensiunan UPTD Pertanian Konawe itu.

Berbagi prestasi tingkat kabupaten terus ditoreh Apri sejak pindah ke Konawe. Sampai pada suatu ketika ia diminta Pengcab PBSI Konawe untuk dibawa ke Jakarta. Apri sendiri belum tahu untuk apa ia diminta ke Jakarta. Yang pasti, ia hanya diminta merapikan seluruh perlengkapannya.

Setiba di Jakarta di pengujung tahun 2011, ternyata ia dibawa ke PB.Pelita milik Icuk Sugiarto di kawasan Kosambi, Jakarta Barat. Awalnya, Icuk tak serta merta langsung mau menerimanya. Namun, dengan berbagai pertimbangan, antara lain ia datang dari jauh dan anak dari keluarga kurang mampu, ia pun diterima berlatih di PB.Pelita.

"Tapi, itupun dengan catatan saya hanya diberi waktu selama tiga bulan. Jika tidak memperlihatkan progres yang diharapkan maka saya diminta keluar," ujar Apri.

Peringatan itulah yang memacunya berlatih dengan tekun agar tidak dipulangkan. Boleh saja ia bertahan tapi dengan catatan harus membayar. Jelas itu akan menjadi persoalan karena orang tuanya tak akan mampu membiayai. Beruntung, setelah menjalani masa percobaan tiga bulan, Icuk pun memberikannya fasilitas berlatih secara cuma-cuma di PB.Pelita.

Di bawah bimbingan pelatih yang mumpuni serta sparring yang lebih banyak, Apri terus giat berlatih. Kesempatan pertama tampil di ajang Sirnas Djarum dijalaninya pada tahun 2012 di Banjarmasin. Apri yang masih bermain di tunggal putri langsung kandas di babak pertama.

Di situ ia mendapat arahan dari pelatih Toto Sunarto agar ia beralih saja ke nomor ganda. Sang pelatih melihat bakat Apri lebih cocok untuk bermain di nomor ganda. Apri pun tak menolak untuk mencoba jalur baru. Ternyata pengamatan sang pelatih tidak keliru. Kemampuan Apri makin terasah di nomor ganda, baik ganda putri maupun campuran.

Prestasinya makin bersinar sejak berpasangan dengan Jauza Fadhillah Sugiarto yang tak lain adalah putri bungsu Icuk Sugiarto. Berbagai prestasi nasional dan internasional untuk kelompok usia taruna terus ditoreh bersama Jauza.

"Pokoknya kalau sudah main sama Jauza rasanya kita itu sudah sehati banget. Chemistry kita memang sudah menyatu. Jadi, biar beberapa bulan kita gak main bareng tetap kita sudah saling mengerti," tukas Apri.

Dengan berbagai prestasi yang ditorehnya, Apri tak menyangka mulai mendapat kepercayaan membela tim Merah Putih di ajang Kejuaraan Dunia Yunior 2014 di Alor Setar, Malaysia. Namun, kali ini ia tidak dipasangkan dengan Jauza, melainkan Rosyita Eka Putri Sari.

Hasilnya di luar dugaan, Apri/Rosyita berhasil menapak hingga ke babak final sebelum kalah dari pasangan Tiongkok, Chen Qingchen/Jia Yifan. Seperti diketahui Chen Qingchen/Jia Yifan saat ini menjadi salah satu pasangan ganda putri yang disegani setelah beranjak ke senior. Salah satu prestasinya memenangkan gelar BCA Indonesia Open Super Series Premier 2017.

Sukses menjadi runner-up bersama Rosyita itulah yang akhirnya mengantar Apri ke Pelatnas PBSI Cipayung. Ilmu bulutangkisnya pun terus terasah dengan arahan pelatih-pelatih yang makin berkualitas. Apri pun kembali mendapat kepercayaan tampil di Kejuaraan Dunia Yunior di Lima, Peru. Kali ini ia bermain di ganda campuran berpasangan dengan Fahriza Abimanyu. Namun, konsentrasinya buyar saat hendak bertanding di semifinal melawan He Jiting/Du Yue (Tiongkok). Ia mendapat kabar buruk sang ibu meninggal dunia di kampung halaman.

"Rasanya sedih sekali tidak bisa melihat mama untuk terakhir kali. Kalau cuma dekat saja pasti saya minta pulang. Tapi, ini di Peru yang perjalanannya saja sudah satu setengah hari dari Jakarta. Akhirnya saya cuma bisa bertemu makam mama pada peringatan tujuh hari wafatnya beliau," kenang Apri lagi.

Lanjut Apri, baginya sosok mama sangat berarti dalam perjalanan karirnya. Karena berkat dorongan mamanya pula ia bisa menapak hingga ke Pelatnas Cipayung. Karena itu, ketika naik podium juara di Thailand Open, salah satu sosok yang sangat dikenang adalah sang mama. Apri yakin mamanya pasti bangga melihatnya naik podium juara.

Duka untuk Apri sejatinya ikut bertambah ketika Sapiuddin, pelatih yang pertama kali mengenalkannya memegang raket bulutangkis dengan benar juga ikut berpulang pada 2016 lalu. Untuk kedua kali, Apri pun tak bisa pulang ke Konawe karena bersamaan dengan mengikuti kejuaraan di luar negeri.

Amiruddin pun mengaku bangga dan bersyukur, anak perempuannya itu bisa mengharumkan nama daerah hingga ke internasional. “Saya itu senang sekali, karena perjuangan almarhumah mamanya tidak sia-sia. Sampai jual sayur untuk beli raket dan shuttlecock, kadang gadai perhiasan supaya bisa ikut kejuaraan. Alhamdulillah sekarang sudah mulai terlihat hasilnya," tutur Amiruddin.

Jalan menuju kesuksesan kini memang seolah terbentang untuk Apri, kendati ia sendiri belum tahu akan seperti apa nantinya. Pasalnya, ia sadar berpasangan dengan Greysia pun belum tentu sesuatu yang permanen. Karena suatu saat bisa saja pelatih mengubah lagi formatnya karena Greysia saat ini memang tengah dicoba dengan beberapa pemain lain sambil menunggu kesembuhan partner tetapnya Nitya Krishinda Maheswari yang tahun lalu menjalani operasi lutut.

Namun, Apri mengakui dari beberapa pemain senior yang pernah berpasangan dengannya, ia merasa mendapatkan chemistry dengan Greysia. "Cocok maksudnya lebih pada pola permainan saya dengan kak Greysia. Kalau dengan senior-senior lainnya saya sih merasa baik-baik saja," tukas Apri.

Yang pasti, Apri menyerahkan semua keputusannya kepada tim pelatih yang dikepalai Eng Hian. Dengan siapa kelak akan berpasangan Apri berharap impiannya untuk tampil di ajang Olimpiade Tokyo 2020 mendatang bisa terwujud.

"Saya ingin sekali punya prestasi seperti Kak Butet -Liliyana Natsir-. Dia memang pemain idola saya," tegas Apri.

Apri pun sangat senang jika diizinkan bisa bermain rangkap pula di nomor ganda campuran seperti pasangan-pasangan dari Tiongkok, Korsel, atau Denmark yang mampu berjaya di dua nomor pertandingan. Untuk yang satu itu nampaknya PBSI masih perlu banyak pertimbangan.
Maju terus Apri! (Daryadi)

APRIANI RAHAYU & DATA DIRI

Nama: Apriyani Rahayu
Panggilan: Apri atau Ani
Kelahiran: Lawulo, Konawe, Sulawesi Tenggara
Tanggal     : 29 April 1998
Tinggi     : 163 cm
Berat     : 64 kg
Tangan Bermain : Kanan
Rangking BWF : 81
Rangking Dubai Destination : 38
Pemain Idola : Liliyana Natsir

APRIANI RAHAYU & PRESTASI

PASANGAN: JAUZA FADHILA SUGIARTO
- Juara Indonesia Junior International Challenge 2014
- Juara Singapore International Series 2015
- Juara Walikota Surabaya Victor International Series 2016
- Runner-up BWF World Junior Championships 2014
- Runner-up Badminton Asia Junior Championships 2016
- Semifinalis Singapore International Series 2014
- Semifinalis Indonesia Junior International Challenge 2015
PASANGAN: ROSYITA EKA PUTRI SARI
- Runner-up Kejuaraan Dunia Yunior 2014, Alor Setar, Malaysia
PASANGAN: FAHRIZA ABIMANYU
- Semifinalis: Semifinalis Kejuaraan Dunia Yunior 2015, Lima, Peru
PASANGAN: TANIA OKTAVIANI KUSUMAH
- Semifinalis BWF World Junior Championships 2016
PASANGAN: AGRIPINA PRIMA RAHMANTO
- Juara Indonesia Internasional Challenge 2016
PASANGAN: GREYSIA POLII
- Juara Thailand Open 2017

 

 

« Back to News